Bogor - Eddy Maulana Sampak alias Eddy Sampak adalah seorang Sersan Mayor AD yang kala itu bertugas di Kodim Cianjur. Ia merupakan terpidana mati usai didakwa bersalah atas kasus perampokan dan pembunuhan.
Mengutip dari kanal YouTube UMBRA SKULL peristiwa mengerikan itu terjadi pada 20 Agustus 1979. Saat itu menjelang Lebaran, warga Kota Cianjur di kejutkan dengan peristiwa perampokan berdarah dingin. Empat orang tewas di tempat, satu meninggal di rumah sakit. Empat lainnya luka-luka.
Korban tewas adalah Sersan Sutardjat, Daeng Rusyana, Djudjun, Sugandi, dan seorang lelaki yang tak diketahui namanya. Mereka diberondong peluru tanpa ampun.
Kronologi KejadianHari nahas itu, Sersan Mayor Sutardjat, yang merupakan juru bayar Kodim 0608 Cianjur, bertugas mengambil gaji pegawai di Bank Karya Pembangunan, Sukabumi, Jawa Barat. Ia ditemani Enung Sumpena dan dua pegawai sipil, Daeng Rusyana dan Djudjun.
Setelah selesai mengambil uang gaji itu, kemudian mereka ke kantor Kodim Sukabumi, untuk memasukan uang gaji ke amplop – amplop yang telah disediakan.
Saat itu, muncul Sersan Mayor Eddy Sampak. Eddy minta gajinya diberikan duluan. Katanya untuk beli bensin. Karena tak mau melanggar prosedur, Sutardjat hanya meminjamkan uang alakadar miliknya.
Siang harinya rombongan Sutardjat pulang ke Cianjur menumpang minibus Colt bernomor polisi D-5791-G, yang dikemudikan Iding dengan kenek Sugandi. Eddy bersama temannya Odjeng ikut menumpang. Mereka duduk-duduk di bangku belakang.
Masuk Cianjur, di daerah Gekbrong, Eddy minta sopir belok ke perkebunan teh. Eddy beralasan hendak mengambil kambing. Setiap menjelang Lebaran, lelaki ini memang kerap menjual daging kambing kepada rekannya.
Karena itu, sopir manut saja. Penumpang lain juga tak keberatan. Melewati kampung kecil nan senyap, Eddy minta sopir menepikan kendaraannya.Waktu menunjukkan pukul 13.30. Saat itu Eddy mengeluarkan senjata Carl Gustaf dari tas jinjingnya.Senjata itu berikut amunisinya diketahui hilang dari gudang, beberapa bulan sebelumnya.Tanpa banyak bicara, Eddy langsung mengarahkan moncong senjata, kearah teman – temannya, yang kemudian memuntahkan puluhan butir timah panas, secara membabi buta. Setelah itu, Eddy kemudian membakar minibus berisi penumpang yang terluka tembak. Eddy dan Odjeng kabur menggondol duit gaji pegawai Rp 21, 3 juta.
Perburuan gencar dilakukan. Tanpa disadari oleh Eddy dan Odjeng, Enung Sumpena salah seorang korban selamat, dapat menyelamatkan diri dari kobaran api. Enung Sumpena pada saat itu duduk di dekat pintu mobil. Enung tertembak di bahu kanannya.
Enung Sumpena, yang melarikan diri terhuyung-huyung, ditolong dua pemuda dusun yang membawanya kepada kepala desa setempat. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit di Sukabumi. Nyawanya terselamatkan. Enunglah yang melapor perihal ulah Eddy Sampak.Perburuan besar-besaran melibatkan petugas gabungan TNI-Polri pun dikerahkan.
Perburuan tersebut membawa hasil. Sepekan berselang, 28 Agustus 1979, Eddy ditangkap di Desa Cigintung. Kaki dan pantatnya luka memborok akibat baku tembak dengan petugas keamanan beberapa hari sebelumnya di Pasirdatarwatu.
Odjeng tertangkap pada 24 Agustus di Desa Nagrak. Dari tangan Odjeng, petugas menyita duit Rp 734.000. Petugas menemukan lagi Rp 1, 3 juta yang ditanam di sawah. Sedangkan dari Eddy disita Rp 3, 75 juta. Total uang yang disita, termasuk dari kerabat Eddy, berjumlah Rp 20 juta lebih.
Kabur dari Penjara Pada 13 Juni 1981.Pengadilan Militer Priangan - Bogor memvonis Eddy dengan hukuman mati, yang dikuatkan keputusan Mahkamah Agung. Eddy mengajukan grasi, tapi ditolak. Pada 24 Desember 1984, ia nekat melarikan diri dari Rumah Tahanan Militer Inrehab Cimahi
Kaburnya Eddy bikin gempar lagi. Banyak pihak waswas, terutama korban selamat Enung Sampena. Enung merasa ketakuatan serta stress, terlebih ia yang melaporkan Eddy Sampak. Eddy, bagai hilang ditelan bumi. Selama bertahun-tahun petugas tak berhasil mengendus jejak Eddy.
Tertangkap Setelah Buron 22 Tahun.Kemudian, barulah Eddy Sampak ditangkap kembali. Jejaknya terendus karena kelalaiannya mencantumkan nama di sebuah surat kabar! Ya, nama Eddy Sampak tertera dalam susunan “Pembina” sebuah suratkabar di Banten!!! Mengapa ia begitu ‘bodoh’ memakai nama aslinya?
Lantas, kemana saja Eddy Sampak selama buron? (tahukah Anda, dia pernah dua kali berurusan dengan polisi, tanpa ada yang tahu bila ia sesungguhnya adalah buronan kelas kakap?; Eddy Sampak bahkan pernah membangun mesjid di Sumatera Selatan…) Mengapa ia begitu sulit ditangkap? Benarkah Eddy Sampak punya ilmu menghilang?
Proses penangkapannya cukup mulus. Jauh pula dari kesan hiruk-pikuk lazimnya mencolok penjahat berbahaya. Tanpa todongan pistol, apalagi rentetan tembakan. Malah bentakan pun sepi. Mungkin lantaran sasarannya sudah sepuh.
Mula-mula petugas mengetuk pintu rumah target, Senin malam dua pekan silam. Rumah itu terletak di kawasan Jayanti, Tangerang, Banten. Berlagak sebagai tamu, petugas tadi menyapa ramah. ”Saya dari Garut, ” ucapnya, sembari menyalami tuan rumah, seorang lelaki gaek.
Selagi tuan rumah keheranan, si tamu memborgolnya cekatan. ”Bapak ikut kami, ” katanya. Tak lupa si tamu juga berpamitan pada nyonya rumah. Mereka kemudian meluncur menggunakan mobil Toyota Kijang yang diparkir dekat situ.
Lelaki gaek itu pasrah. Mulanya ia mengira diculik dan akan dibunuh. Setibanya mobil dibawa ke Pemasyarakatan Militer (Masmil) Cimahi, Jawa Barat, barulah ia ngeh telah ditangkap polisi militer. Berakhir sudah pelariannya selama 22 tahun.
Pria tua tadi tak lain Eddy Maulana Sampak, ”legenda hidup” perampok dan pembunuh berdarah dingin dari Cianjur, Jawa Barat. Terpidana mati yang saat itu berusia 67 tahun dan berhasil kabur dari Inrehab Cimahi (sekarang Masmil) pada 1984.
Kabar tertangkapnya bekas anggota Komando Distrik Militer (Kodim) 0806 Cianjur itu sangat melegakan Enung Sumpena, 65 tahun, saksi kunci Kasus Perampokan Gaji TNI.Edi Maulana Sampak.
Sumber Primer Oleh : Anwar Resa Jurnalis Nasional Indonesia